Gemabangsa.id - Mungkin sering mendengar dan mengucapkan pepatah yang mengatakan “hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali”. Pepatah ini adalah menggambarkan suatu ungkapan kebodohan seseorang yang tidak mau mengambil hikmah dari kesalahan yang sama. Di samping itu, keharusan untuk melakukan perubahan dalam diri setiap manusia pada dasarnya adalah sebuah kewajiban. Setiap saat manusia selalu dituntut untuk menjadi “lebih baik” sehingga apabila tidak berubah menjadi “lebih baik” maka manusia itu akan merugi. Dengan kata lain, hari ini harus lebih baik dari kemarin dan besok harus lebih baik dari pada hari ini.
Dalam menghadapi perhelatan Pilkada 2020 ini. Ungkapan di atas setidaknya dapat menjadi cerminan bagi masyarakat dalam menentukan pilihannya di Pilkada yang dihelat pada tanggal 9 Desember nanti. Terutama bagi masyarakat Kabupaten Bungo, salah satu dari 224 daerah yang menyelenggarakan Pilkada tahun ini.
Seperti diketahui, Pilkada Kabupaten Bungo periode ini diikuti dua pasangan calon, yaitu H. Sudirman Zaini. SH. MH dan Dr. Erick Muhammad Hendrizal. SE. MM nomor urut 1. Dan, pasangan H. Mashuri. SP, ME dan H. Safrudin Dwi Apriyanto. S.Pd nomor urut 2, yang merupakan incumben atau petahana yang sudah pernah memimpin Kabupaten Bungo kurang lebih 5 (lima) tahun. Sedangkan No. 01 H. Sudirman Zaini. SH, MH, pernah menjadi mantan Wakil Bupati dan Bupati Bungo periode 2011-2016 dan Dr. Erick Muhammad Hendrizal. SE. MM, adalah latar belakang sebagai pengusaha muda yang sukses di Jakarta dan mereka berdua SZ-ERICK merupakan sang penantang baru.
Pilkada 2020 merupakan momen yang dinantikan oleh masyarakat. Guna menentukan siapa yang akan menahkodai Kabupaten Bungo. Bagi petahana tentu akan mati-matian untuk merebut simpati masyarakat agar kembali mendapatkan mandat. Bahkan tidak jarang petahana melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk memuluskan kepentingan politiknya.
Begitu juga dengan sang penantang baru, harus dengan segala kemampuannya untuk meyakinkan pemilih bahwa kehadirannya merupakan jawaban dari keresahan masyarakat dan harapan baru bagi masyarakat demi perubahan. Dengan hanya ada dua pasangan calon tentu sebenarnya tidak terlalu sulit bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya. Jika petahana dianggap berhasil tinggal dilanjutkan, sebaliknya jika gagal maka sudah cukup menjadi barometer untuk tidak diteruskan atau ditarik mandatnya.
Namun dalam menentukan pilihannya masyarakat harus berhati-hati agar tidak salah pilih, karena salah dalam menentukan pilihan akan berdampak terhadap kehidupan dan pembangunan serta kesejahteraan masyarakat ke depannya. Tentunya, masyarakat memiliki harapan yang besar terhadap pilkada. Harapan akan terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik. Mereka ingin dengan pemimpin baru masyarakat menjadi sejahtera, pendidikan, kesehatan serta keamanan terjamin.
Kegagalan petahana sebagai kepala daerah dapat menjadi tolak ukur agar tidak dipilih kembali. Ukuran kegagalan tersebut secara umum dapat dilihat dari realisasi janji-janji politik serta capaian visi misi dimasa pencalonan periode sebelumnya. Tinggal publik menilai, tercapai atau tidak.
Selain itu, kegagalan petahana juga dapat dilihat dari pencapaian program Pemerintahan Daerah dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang bebas dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Jika hal ini tidak berhasil dilakukan oleh petahana, maka sudah menjadi keharusan bagi masyarakat menentukan sikap dan menarik mandat untuk menyerahkan kepada penantang baru yang menjanjikan dan menawarkan perubahan. Setidaknya penantang baru diberikan kesempatan untuk mewujudkan program pemerintahan daerah yang lebih baik serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang diharapkan selama ini.
Keharusan untuk memilih pemimpin lebih baik atau setidaknya yang lebih sedikit mudhoratnya, merupakan suatu ikhtiar untuk tidak mengalami hal yang sama kedua kalinya. Jika petahana yang sudah gagal namun masih tetap dipilih berarti kita masih mau masuk ke lubang yang sama kedua kalinya. Bukankah hanya keledai yang masuk ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Masyarakat tentu mengharapkan Kabupaten Bungo ke depannya menjadi lebih baik seiring dengan usianya yang sudah 55 tahun sejak berdiri. Keputusan siapa yang akan menjadi nahkoda Kabupaten Bungo ke depannya tentu berada di tangan masyarakat sebagai pemilik suara dan pemegang kedaulatan. Masyarakat harus menjadi pemilih yang cerdas dan jangan mau menjadi korban politik dengan janji-janji yang pada akhirnya tidak dipenuhi. Mari jadikan Pilkada sebagai pembelajaran politik dan demokrasi bagi masyarakat tanpa dikotori praktek money politic dan politic corrupt lainnya.
(Penulis tokoh muda Kabupaten Mukomuko, Dr. Septa Candra, S. H., M. H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Praktisi Hukum Dan Agus Saputra Pemuda Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang Kabupaten Bungo Jambi)